Postingan

Rumah #2

"Kau rumah, bagaimana pun , kau tempatku pulang. Karena kamu tempat ternyaman" suara itu terdengar dari seberang telepon genggam milik Hijau. Tanpa melihat wajah , hanya suara. Yang sampai kehati melalui telinganya adalah ucapan tulus Abu.  Sejak hari itu, Hijau jadi rumah.  Namun bukan rumah yang nyaman, hanya gerah , pengap , dan sesak yang dapat Abu rasakan. Abu sering mengeluh pada lantai yang sedikit retak , karena hijau tak dibangun pada tanah yang kuat, hanya tanah merah bekas kuburan masa lalunya. Abu bilang dindingnya rapuh, hingga tak nyaman saat bersandar. Namun , itu dinding terkuat yang bisa Hijau berikan. Abu terganggu pada tetesan air yang sering jatuh tak beralasan , namun itulah cara  Hijau berisyarat "Tambal lah atapnya" Abu kesal pada pintu dan jendela Usang yang setiap malam menghantarkan dingin yang mengganggu tidurnya, Namun Itulah cara Hijau bilang "Temani aku, Aku ketakutan"  Ketidaknyamanan Abu semakin membuat Hijau ketakutan, saat...

Rumah

"Kau rumah"  Bisik itu seketika terus menggema, memenuhi ruang antara otak dan telinga. Tetes air semakin deras jatuh  dari kedua mata , lalu bertemu di bawah dagu yang kemudian bermuara dan di serap kasur busa tempat gadis itu kini terbaring lemah. Isak yang berduet dengan rintik hujan depan jendela menjelma jadi lagu dukacita penutup sebuah kisah.  Tangerang mengirim kutuk pada Bandung yang sekali lagi membuat gadisnya terluka. Masih dalam sedu yang sama, amigdala berulah. Diungkit nya segala suka dan duka yang berujung pada sore nestapa , 21 Oktober 2020.

Wanita di Bangku Taman

  “Jual apa pak?” “Kaligrafi neng, sini lihat-lihat” “Oh makasih pak, mau duduk-duduk aja” Ku duduk di bangku kosong di sebuah Taman yang banyak dikunjungi oleh orang-orang yang bertamasya, udaranya yang sejuk menjadi alasan banyak orang lebih suka menghabiskan waktu disini daripada berbelanja ke Mall, ku tengok ke sebelah kiri, ada seorang Wanita yang duduk bersamaku, ku lihat ia sedang memperhatikanku, namun setiap ku menoleh  , tak juga ia melepaskan pandangannya dariku. Ku beranikan diri untuk menyapanya, lalu ia menyauti. Wajah ramahnya seolah menutupi suasana hati yang buruk. Kucoba menghiburnya dengan mengajaknya mengobrol, namun berbeda denganku yang dasarnya cerewet, dia cukup pendiam dan tak banyak bicara. Tatapanku terkunci pada sebilah pisau yang ada di tangannya, ku coba berfikir positif  Mungkin saja ia sedang memotong buah.  Seperti sadar aku memperhatikan pisau yang ada di tangannya, ia tersenyum “Kenapa? Tak pernah melihat pisau?” se...

Mereka tak lagi menyayangiku..

3 tahun semenjak lulus SMP aku hancur. Ayah dan ibu tak lagi peduli padaku. Aku telah mengecewakan mereka saat menolak mengikuti jejak ayah menjadi dokter .  Apalagi nilai ku menjelang kelulusan terus menurun. Andai saja mereka tau aku juga stress saat itu. Aku pernah masuk rumah sakit karena tertabrak mobil saat berusaha menyembunyikan kegagalan ku. Yah, peristiwa selepas perpisahan SMP , kepalaku hampir terlindas tronton yang melintas cepat . Untungnya aku langsung di larikan ke rumah sakit dan hanya luka ringan . Namun mungkin karena kecewa pada kemerosotan nilaiku , ayah dan ibu mulai tak acuh padaku. Aku hanya mengurung diri di kamar bahkan tak meneruskan ke SMA seperti teman yang lain. Aku pernah minta tanda tangan persetujuan untuk masuk SMA, jangankan ditanda tangani , dilihatpun tidak. Aku mulai tak dapat jatah jajan ataupun sarapan pagi , ibu sering berkata : "Nak kau sudah besar, tolong jangan selalu buat ibu sibuk memikirkan mu"  Lalu ia pergi tanpa menatapku, aku...

Si Gadis Sendu

Gambar
Keenam kalinya gadis itu mengecek ponsel dengan tatapan gelisah seolah menanti seseorang mengirim kabar. Wajah sendunya sesekali menoleh kearah datangnya kereta. Kakinya tampak ragu meninggalkan peron , berharap sebentar lagi yang di tunggu datang beri kepastian. 60 menit , tak ada perubahan. Masih resah , masih gelisah. Ia keluarkan lagi ponsel dari saku kanannya , jarinya mengetuk layar , pandangan nya terpaku pada satu arah , malu-malu ia angkat kedua tangan yang memegangi ponsel. "Cekrek" , wajahnya memerah tatkala sadar suara kamera belum ia matikan. Ia ketuk lagi layar ponselnya, tak lama mulai tersenyum. Disana ada foto yang baru saja ia ambil , foto seorang gadis manis bertopi merah muda yang juga tengah menanti dan di sorot mentari pagi. Pada hakikatnya semua tengah menanti , gelisah adalah pilihan. Si gadis memilih gelisah , gadis satunya memilih santai dan mendengarkan musik dalam penantian nya . Seketika kegelisahan pudar , si gadis sendu kini memilih bebas. Ia ya...

Gema itu memanggilku pulang...

Ribuan senja sejak hari dimana ibu merelakan aku diasuh dunia. Aku terjerembap diatas lumpur hina yang mereka sebut dosa. Patah arang , patah jua harapan. Lalu di ujung sana, sebelum horizon langit melahap cahaya yang tersisa . Ada suara yang bergema, "Pulang lah" , satu kata lalu sirna. Gelap semakin pekat, tak ada cahaya selain kunang-kunang kecil yang tak lama mati karena waktunya. Lalu sepertiga malam , di waktu manusia berwajah jernih mencari cinta , aku masih terlentang diatas ketidakwarasan. Bukan , hanya setengah tak waras. Suara yang sama kembali menggema , kini lebih jelas , katanya "Pulang lah" dan aku kembali patah Apakah suara Tuhan? Namun Tuhan jelas tak mematahkan, Ia memberi kasih sayang , kata orang. Dengan mata yang masih terjaga , Waktu menggiring ku pada suatu gema yang masih saja sama "Pulang lah" begitu katanya. Tubuh semakin lemah , akal makin tenggelam. Aku butuh makanan. Lalu wajah ibu , kasih sayang nya masih jelas kuingat. Oh iya...